Home Opini Kesunyian yang Berisik: Potret Penderitaan Gaza di Tengah Kezaliman

Kesunyian yang Berisik: Potret Penderitaan Gaza di Tengah Kezaliman

254
0
SHARE
Kesunyian yang Berisik: Potret Penderitaan Gaza di Tengah Kezaliman

Oleh: Debi Primanda 
Mahasiswa FISIP Universitas Muhammadiyah Jakarta

Di tengah abad ke-21, saat dunia terus membanggakan kemajuan teknologi, demokrasi, dan hak asasi manusia, Gaza justru menjadi simbol nyata kegagalan moral kemanusiaan global. Wilayah kecil yang padat penduduk itu, kini menjadi penjara terbuka terbesar di dunia. Mereka dilaparkan, dibombardir, dan diisolasi oleh sebagian besar kebijakan sistematis Zionis Israel dengan dukungan tidak langsung maupun langsung dari Amerika Serikat. 

Sejak lebih dari 15 tahun terakhir, tepatnya Juni 2007, Gaza telah mengalami blokade darat, laut, dan udara yang diberlakukan oleh Israel dengan dukungan dari sekutu utamanya, Amerika Serikat. Blokade ini tidak hanya memutus jalur perdagangan dan bantuan kemanusiaan, tapi juga menjadikan lebih dari dua juta warga Palestina hidup dalam ketidakpastian, kemiskinan ekstrem, dan ketakutan harian. Mereka dilaparkan secara harfiah. Makanan, obat-obatan, air bersih, dan listrik menjadi barang mewah yang hanya tersedia bagi segelintir, sementara anak-anak meninggal karena kekurangan gizi dan perawatan medis yang tidak tersedia (muslimahnews.net, 6 Mei 2025).

Situasi kesenjangan ini adalah struktur yang diciptakan oleh Zionis. Mereka telah memboikot total wilayah Gaza dengan alasan demi mempersulit lingkup gerak Hamas. Akan tetapi, mereka menjanjikan akan tetap memberikan bantuan dengan membentuk badan amal “Gaza Humanitarian Foundation” (GHF) sebagai gantinya.

Zionis melalui Kementerian Luar Negeri mengatakan bahwa ada 4.400 truk bantuan kemanusiaan yang telah masuk Gaza sejak pertengahan Mei dan 700 truk lainnya menunggu untuk diangkut oleh PBB ke Gaza. Tidak hanya itu, Amerika Serikat (AS) juga menyatakan bahwa AS juga telah mengirimkan bantuan makanan senilai USD60 juta (sekitar Rp985 miliar) untuk Palestina (goodnewsfromindonesia.id, 5 Agustus 2025).

Beredarnya video dan foto di media sosial menunjukkan kondisi warga Gaza, mulai dari anak-anak, orang dewasa, sampai paruh baya mengalami kelaparan ekstrem, sampai harus mengonsumsi pakan ternak, rerumputan, dan minum air yang kotor. Tubuh mereka pun semakin kurus karena malnutrisi, bahkan ada yang meninggal saat antre bantuan makanan. Kondisi tersebut memunculkan spekulasi bahwa Zionis melalui GHF mempolitisasi bantuan pangan sebagai alat tawar-menawar dalam konflik atau bahkan sebagai strategi mempercepat genosida untuk mengosongkan Gaza. Dugaan itu diperkuat oleh data BBC yang menyebutkan 900.000 anak di Gaza mengalami kelaparan dengan 70.000 diantaranya menderita malnutrisi dan belum termasuk korban dari kalangan dewasa. 

Sejak Maret 2025, Zionis memperketat blokade dengan menutup seluruh akses masuk ke Gaza, menghentikan suplai makanan, air bersih, listrik, dan bahan bakar. Tidak ada bantuan kemanusiaan maupun barang dagangan yang dapat masuk selama berbulan-bulan, menjadikan krisis ini sebagai blokade terpanjang selama konflik berlangsung. Situasi tersebut telah memicu kondisi kesehatan yang memburuk dan krisis kelaparan yang meluas di Gaza.

Yang paling menyayat hati adalah penggunaan kelaparan sebagai senjata. Laporan berbagai lembaga kemanusiaan internasional seperti PBB dan UNRWA telah memperingatkan bahwa warga Gaza kini berada di ambang kelaparan massal. Anak-anak kurus kering dengan mata cekung menjadi wajah dari krisis yang seharusnya bisa dicegah. Mereka tidak hanya kekurangan makanan, tetapi juga harapan. Dunia melihat, tetapi terlalu sedikit yang bergerak.

Dukungan militer dan politik Amerika kepada Israel telah memperpanjang penderitaan rakyat Gaza. Selain melaparkan warga Gaza, mereka meluncurkan serangan ke wilayah tersebut menggunakan teknologi canggih hasil kerja sama militer dua negara itu. Serangan udara menghancurkan rumah sakit, sekolah, dan tempat pengungsian. Sementara itu, dunia internasional seolah hanya bisa mengutuk tanpa mampu bertindak. Setiap kali gencatan senjata diumumkan, penderitaan belum berakhir, hanya jeda sesaat sebelum babak baru kekerasan kembali dimulai.

Media global sering kali bias dalam pemberitaan. Narasi yang dibangun kerap menggambarkan seolah-olah kedua belah pihak setara dalam kekuatan dan tanggung jawab, padahal kenyataan di lapangan jauh berbeda. Gaza adalah wilayah yang dikepung, diserang, dan dikontrol dalam setiap aspek kehidupan oleh kekuatan militer yang jauh lebih besar dan didukung negara adidaya. Suara-suara kemanusiaan dari Gaza berusaha menembus kebisingan politik, tetapi sering kali tenggelam oleh narasi yang lebih "strategis".

Semua tragedi ini terus berlangsung tanpa ada yang bisa menghentikannya. PBB hanya bisa mengecam dan meminta Zionis untuk menghentikan kekejamannya. Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 28 – 29 Juli 2025 lalu membahas soal Gaza yang dinilai tidak menghasilkan langkah konkret. Deklarasi New York yang dikeluarkan hanya menegaskan dukungan terhadap solusi dua negara. Pernyataan itu diniai lemah karena tidak secara eksplisit menyebut Zionis sebagai pelaku genosida terhadap warga Palestina.

Kritik juga ditujukan kepada para pemimpin negeri-negeri kaum Muslim yang dianggap pasif, lebih mementingkan hubungan diplomatik, dan perlindungan kekuasaan daripada membela rakyat Palestina, khususnya Gaza. Beberapa diantaranya mendukung genosida secara tidak langsung melalui kerja sama atau normalisasi hubungan dengan Zionis.


Sikap para pemimpin muslim hari ini sangat kontras dengan teladan yang diberikan oleh Rasulullah SAW dan para khalifah. Pemimpin terdahulu hadir sebagai pelindung umat, tidak hanya dalam urusan dunia, tetapi juga dalam urusan akhirat. Mereka menjalankan kepemimpinan layaknya penggembala yang memastikan setiap kebutuhan dan kesejahteraan rakyatnya terpenuhi. Bahkan, dalam hal menjaga kehormatan rakyatnya, mereka akan memberikan perlindungan yang tegas. Jika diperlukan, kekuatan militer pun akan dikerahkan demi membela rakyat, bukan hanya sekadar melalui pernyataan kecaman semata (muslimahnews.net, 30 Juli 2025).

Solusi Sistematis 

Meski dilanda penderitaan luar biasa, semangat rakyat Gaza belum padam. Mereka tetap bertahan, tetap berharap, dan terus memperjuangkan hak mereka untuk hidup bebas, bermartabat, dan berdaulat. Dunia dan Umat Islam memiliki tanggung jawab untuk tidak hanya menyaksikan, tetapi juga bertindak mengakhiri blokade, menghentikan pasokan senjata, dan memaksa adanya keadilan yang nyata hingga negeri tersebut dibebaskan dengan jihad yang akan dikomando oleh seorang khalifah. Khalifah adalah perisai hakiki umat seperti dahulu Palestina ada dalam naungan kekuasaan Islam.

Pembebasan Palestina dari Penjajahan Zion*s bukan hanya sebuah keinginan moral semata, tetapi merupakan kewajiban mendesak bagi seluruh umat, khususnya Islam. Dalam sejarah, tidak pernah ada kompromi antara umat Islam dan penjajah, sebagai yang ditunjukkan oleh Shalahuddin al – Ayyubi yang memilih jihad melawan tentara Salib, bukan berbagi wilayah dengan mereka atau hanya mengirimkan batuan logistik semata.

Diam atas kezaliman yang terjadi di Palestina adalah kelalaian besar yang akan dipertanggungjawabkan di akhirat. Kepedulian terhadap sesama muslim adalah bagian dari keimanan. Menjadikan umat muslim bersatu dalam naungan Khilafah dan mengirimkan militer untuk pembebasan Palestina harus terus disuarakan sebagai kewajiban kita. Umat harus terus berjuangan untuk mewujudkan cita-cita besar dengan melakukan estafet dakwah yang berpengaruh. Umat juga harus memahami bahwa untuk mengembalikan kekuatan, persatuan, dan kekuasaan Islam dibutuhan penerapan syariat Islam secara menyeluruh (kaffah) melalui tegaknya Daulah Islam (Khilafah) (muslimahnews.net, 1 Mei 2025).