Home Opini Krisis: DNA Kapitalisme dan Jalan Keadilan Pancasila

Krisis: DNA Kapitalisme dan Jalan Keadilan Pancasila

42
0
SHARE
Krisis: DNA Kapitalisme dan Jalan Keadilan Pancasila

Oleh : Ryo Disastro *)

DALAM - Sejarah panjang ekonomi modern, krisis bukanlah bencana yang datang tiba-tiba. Ia adalah denyut nadi dari sistem kapitalisme itu sendiri — lahir dari kontradiksi internal antara akumulasi modal dan keterbatasan manusia.

Kapitalisme tumbuh dari logika yang sederhana namun destruktif: produksi tanpa batas, demi keuntungan tanpa batas, di dunia yang justru penuh batas. Ketika produksi melampaui daya beli rakyat, ketika keuntungan tidak lagi sejalan dengan kebutuhan sosial, maka krisis adalah keniscayaan.

Karl Marx sejak abad ke-19 sudah menulis bahwa kapitalisme menyimpan benih kehancurannya sendiri. Dalam Das Kapital, ia menjelaskan bahwa setiap krisis muncul dari overproduksi — produksi berlebih yang tak bisa diserap oleh pasar. 

Di sinilah muncul paradoks besar: para buruh yang menciptakan nilai justru tidak mampu membeli hasil kerja mereka sendiri. Upah ditekan agar laba naik, namun daya beli yang rendah justru meruntuhkan pasar. Kapitalisme hidup dari kontradiksi yang terus ia hasilkan.

Krisis 1929, 1973, 1997, dan 2008 menunjukkan pola yang sama: ekspansi produksi dan keuangan melampaui daya tahan sistem sosial. Kapitalisme tidak hanya memproduksi barang, tetapi juga utang, spekulasi, dan ketimpangan. 

Dalam krisis 2008, misalnya, ketika bank besar di Amerika Serikat runtuh akibat spekulasi kredit subprime, pemerintah justru menggelontorkan bail out triliunan dolar. Seolah-olah, negara hadir bukan untuk rakyat, melainkan sebagai asuransi bagi korporasi. 

Ekonom Joseph Stiglitz dengan tajam menyebutnya, “Kapitalisme bagi rakyat kecil, sosialisme bagi orang kaya.”
Inilah wajah nyata neoliberalisme: sistem yang memuja pasar, namun menuntut negara turun tangan ketika pasar gagal. 

David Harvey menyebut krisis sebagai “mekanisme pembaruan kapitalisme.” Krisis bukan tanda kehancuran, melainkan momen untuk merestrukturisasi kekuasaan modal, menekan buruh, dan membuka ruang baru bagi akumulasi. Krisis menjadi “penyucian periodik” bagi kapitalisme agar tetap hidup — dengan mengorbankan kelas pekerja dan negara-negara berkembang.

Namun Indonesia tidak harus tunduk pada logika ini. Kita memiliki landasan ideologis yang berbeda: Pancasila. Dalam pandangan ekonomi Pancasila, perekonomian tidak boleh tunduk pada akumulasi modal, melainkan pada prinsip keadilan sosial dan kesejahteraan bersama. 

Pasal 33 UUD 1945 dengan tegas menyatakan bahwa perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Artinya, orientasi utama ekonomi bukan pertumbuhan angka, tetapi keseimbangan sosial — bukan kompetisi individual, tetapi kolaborasi gotong royong.

Bung Hatta pernah menulis, “Kekuasaan ekonomi tidak boleh jatuh ke tangan segelintir orang, sebab itu berarti perbudakan ekonomi bagi rakyat banyak.” Kata-kata itu bukan sekadar peringatan, melainkan diagnosis dini atas penyakit kapitalisme: ketika kekayaan dan kuasa pasar terkonsentrasi di tangan minoritas. 

Dalam kerangka ekonomi Pancasila, negara harus hadir sebagai penyeimbang, bukan penonton. Ia wajib memastikan agar kemakmuran tidak menimbulkan ketimpangan, dan kebebasan ekonomi tidak melahirkan perampasan.

Keadilan sosial, dalam pengertian ini, bukan hasil dari “tangan tak terlihat,” melainkan hasil dari rekayasa moral, politik, dan sosial yang sadar. 

Ekonomi Pancasila menolak fiksi netralitas kekayaan — karena dalam realitasnya, distribusi selalu politis. Siapa yang dekat dengan kekuasaan, dialah yang menikmati distribusi ekonomi.

Tidak ada kekayaan yang bebas nilai; setiap akumulasi modal memiliki implikasi terhadap kemiskinan, terhadap lingkungan, dan terhadap martabat manusia. Karena itu, keadilan sosial sejatinya bukan sekadar bagi hasil yang merata, melainkan kesadaran etis bahwa ekonomi harus melayani manusia, bukan sebaliknya.

Krisis kapitalisme hari ini—dari perang dagang, resesi, hingga ancaman otomatisasi tenaga kerja—menjadi bukti bahwa dunia memerlukan paradigma baru. Kita tak bisa terus memuja pertumbuhan tanpa menimbang keberlanjutan sosial dan ekologis. 

Pancasila memberi arah: membangun perekonomian yang berjiwa, beradab, dan berketuhanan. Dalam sistem ini, kemajuan bukan diukur dari seberapa tinggi laba korporasi, melainkan seberapa bahagia rakyat hidup bersama.

Menjadi bangsa Pancasila berarti berani menolak takdir kapitalisme. Kita tidak perlu tunduk pada siklus krisis yang terus berulang. Kita bisa menata ulang struktur ekonomi dengan dasar moral: gotong royong, solidaritas, dan kedaulatan rakyat atas produksi. 

Pancasila bukan hanya dasar negara, tetapi filsafat hidup bangsa yang menuntun arah revolusi sosial. Semangat revolusi 1945 kini perlu dihidupkan kembali — bukan di jalanan, tapi di hati dan pikiran setiap warga negara. 

Karena krisis akan terus berulang selama ekonomi kehilangan jiwanya. Dan selama manusia masih dianggap sebagai alat produksi, bukan tujuan kehidupan, maka dunia akan tetap pincang. 

Pancasila memberi kita pilihan lain: membangun ekonomi berkeadilan yang manusiawi, beradab, dan bebas dari ketakutan abadi akan krisis. Sebab yang kita butuhkan bukan penyelamatan sistem, tetapi penyelamatan manusia.(*)

*) Penulis adalah periset di Nusantara Centre, aktifis ketenagakerjaan sebagai Pengurus DEPENAS SBNI (Serikat Buruh Nasional Indonesia), dan juga aktifis kawulo alit sebagai Pengurus DPP APKLI-Perjuangan.